Language

Selasa, 27 Desember 2011

30 LANGKAH MENDIDIK ANAK AGAR MENGAMALKAN AJARAN AGAMA (2)


Salim Sholih Ahmad Ibn Madhi
Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
﴿ 30 خطوة عملية لتربية الأبناء  على العمل لهذا الدين
« باللغة الإندونيسية »

سالم صالح أحمد بن ماضي
 
Pada bagian pertama  telah dijelaskan langkah pertama dalam mendidik anak. Kita akan melanjutkan pembahasan tentang apa yang semestinya dilakukan orang tua dalam mendidik anaknya.
LANGKAH 2
MEMBERI ANAK NAMA YANG BAIK

Nama memiliki pengaruh penting dalam membangun kepribadian, cara hidup, bahkan lingkungan.
Ketika Nabi -shalallahu alaihi wasallam- tiba di Kota Madinah, kota Madinah masih bernama Yatsrib. Beliau menggantinya dengan nama Thoibah atau Madinah. Keduanya menunjukkan makna nama yang baik. Nama yang baik itu sendiri pada dasarnya menjadi sumber pengharapan yang baik. Karena itu, sudah seharusnya kedua orang tua memilih nama yang baik, hingga menjadi penginspirasi kebaikan bagi anak.
 *  *  *
Contoh Praktis Dan Kisah-Kisah Pentingnya Memilih Nama Dalam Membangun Kepribadian Anak

a.                   Sisi positif nama baik.

Abdurrahman Ibn Auf berkata:
“Dahulu namaku Abdu Amr (artinya budak Amr). Ketika memeluk Islam Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- menamaiku Abdurrahman (artinya hamba Allah Yang Maha Pengasih)[1]
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman menjual tanahnya. Hasilnya dibagikan kepada orang fakir dari bani Zahroh,  Muhajirin dan Ummul Mukminin (istri-istri Nabi). Al-Musawar berkata:
'Aku mendatangi Aisyah untuk menyerahkan pemberian itu.'
Aisyah -radiallahu'anha- bertanya:
'Siapa yang mengirimkan ini?'
'Abdurrahman Ibn Auf.' Jawabku.
Aisyah -radiallahu'anha- berkata:
'Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
((لا يحنو عليكنَّ بعدي إلا الصابرون))
‘Tidaklah berempati kepada kalian setelahku selain Sôbirun (para penyabar).’”[2]
Nama Abdurrahman diserap dari kata [ar-rahman] yang diambil dari sifat kasih. Nabi -shalallahu alaihi wasallam- mendapati pada diri lelaki ini sifat kasih dan sayang sehingga beliau menamainya Abdurrahman.
*  *  *

B. Sisi yang sejalan dengan nama yang tidak baik.

Diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyib dari ayahnya, bahwa ayahnya datang kepada Nabi -shalallahu alaihi wasallam-. Nabi menanyakan namanya:
“Siapa namamu?”
Huzn (=sedih).” Jawabnya.
“Engkau Sahl (=mudah).” Timpal Nabi.
“Aku tak dapat merubah nama yang telah diberikan oleh ayahku.” Tolaknya.
Ibnu al-Musayyib berkata:
'Kesedihan itu senantiasa merundung kami setelahnya.”[3]
Ad-Dawudi berkata:
"Maksud Sa’id Ibn Musayyib adalah kesedihan akan sulitnya merubah tabiat akhlak mereka. Dalam hal ini Sa'id membawakannya kepada hal yang memicu kemurkaan Allah."
Yang lain berkata:
"Ibn Musayyib mengisyaratkan akan kejumudan yang masih tersisa pada akhlak mereka."[4]
Demikianlah. Ketika kita ingin anak keturunan kita baik, hendaknya kita melakukan tahap kedua, yaitu memilih nama-nama yang baik, karena ia mempengaruhi kepribadian anak seperti yang kita dapati pada contoh di atas.
* * *
LANGKAH 3
MENGAJARI MEREKA PERKARA-PERKARA SYARIAT
YANG MESTI DIKETAHUI

Anak wajib diajarkan sejak dini perkara-perkara syariat yang harus diketahuinya, seperti shalat, puasa dan yang sepertinya. Hal itu agar mereka tumbuh dengan pertumbuhan yang saleh, seperti ungkapan:
“Belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu”.

Contoh praktis:
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
((مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين  واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرِّقوا بينهم في المضاجع))
Perintahkan anak-anak kalian shalat pada umur tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya jika berumur sepuluh tahun. Pisahkan juga tempat tidur mereka.”[5]
* * *
LANGKAH 4
UKIR ANAKMU DENGAN ILMU

Belajar Sejak Kecil

Anak-anak pada fase pertama memiliki karakteristik ingatan yang kuat. Sudah semestinya kita arahkan untuk menuntut ilmu dan mengajari mereka perkara-perkara agama. Seperti menghafal al-Quran al-Karim dan sunah nabi yang suci serta menanamkan aqidah yang benar.
Umat ini amat butuh kepada ulama yang kuat dan dai-dai yang berpandangan luas dengan al-Quran dan sunah. Hal ini tidak akan terwujud selain dengan menuntut ilmu sedini mungkin. Jangan katakan hal ini sulit atau mustahil.
Ibnu Muflih berkata[6]:
"Ilmu yang didapat sejak kecil lebih kuat. Sudah seharusnya memperhatikan pelajar muda, terlebih lagi mereka yang memiliki kecerdasan, penalaran dan semangat menuntut ilmu. Janganlah menjadikan usia dini, kefakiran dan kelemahan mereka sebagai penghalang dalam memperhatikan dan fokus pada mereka."
*  *  *
Contoh Praktis Dan Kisah-Kisah Pentingnya Menuntut Ilmu Sejak Dini Dalam Membangun Kepribadian

1.                   Ibnu Abbas berkata:
“Ketika Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- wafat, aku berkata kepada seorang anak lelaki Anshar:
“Ayolah kita bertanya (menuntut hadits) kepada para sahabat Nabi -shalallahu alaihi wasallam-, sekarang ini jumlah mereka masih banyak.”
Anak laki-laki itu menjawab:
“Engkau ini aneh, wahai Ibnu Abbas, apakah engkau merasa bahwa orang-orang akan membutuhkanmu?! Bukankah para sahabat Nabi -shalallahu alaihi wasallam- masih cukup banyak seperti yang engkau tahu!”
Aku pun meninggalkan anak itu dan mulai menanyai para sahabat. Jika merasa akan mendapatkan Hadits dari seseorang, aku akan mendatanginya dan membentangkan selendangku di depan pintu rumahnya, walau angin bertiup dan debu-debu beterbangan mengenaiku. Manakala orang itu keluar dan melihatku dia berkata:
“Wahai sepupu Rasulullah, mengapa tidak engkau utus saja seseorang kepadaku dan aku akan mendatangimu?!”
“Aku lebih berhak mendatangimu untuk menanyaimu...” Jawabku.
Sementara anak lelaki itu masih tetap pada keadaannya. Manakala dia melihatku dalam keadaan orang-orang telah berkerumun belajar kepadaku dia berkata:
“Anak muda ini lebih berakal dariku.”[7]
*  *  *
Ma'mar berkata:
"Aku mendengar dari Qotadah, ketika itu usiaku 14 tahun:
"Tidak ada sesuatu yang aku dengar pada seusia ini melainkan seperti terpatri dalam dadaku.”[8]
Ummu Darda berkata:
"Pelajarilah ilmu dari kecil, ketika besar engkau akan mengamalkannya. Sesungguhnya apa yang dipetik adalah apa yang dulu ditanam.”[9]


[1] Siar a’lam an-Nubala I/74.
[2] Siar a’lam an-Nubala I/86.
[3] Al-Bukhari, kitab: al-Adab bab: Ismul Huzn juz. 10 no. 6190.
[4] Fathul Bâri X/703.
[5] Sunan Abi Dawud no.495 bab: Mata yu’marus Shobi as-Shalah.
[6] Al-Âdab as-Syar’iah I/244.
[7] Siar a’lam an-Nubala III/343.
[8] Siar a’lam an-Nubala V/7-18.
[9] Siar a’lam an-Nubala XII/615.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar